![]() |
Ilustrasi – Pixabay.com |
Tulisan ini berawal dari kegelisahan saya dan merupakan refleksi singkat bersama kawan-kawan pada sebuah ujung pekan tatkala memperbincangkan makna atau arti dari lagu “Anak Diong“.
Kalaupun “terpaksa” digubah ke dalam bahasa Indonesia, maka maknanya akan menjadi berbeda dan “lari jauh” dari konteks budaya dan bahasa aslinya.
(Kasihan hidupku)
Weong weleng nai ge anak diongk aku ta
(Kasian tersesat hidupku anak siapa aku ini)
Kawe ende toe repeng
(Cari mama tidak ditemukan)
Kawe ema toe lesa
(Cari bapak/ayah sudah tiada)
Ide de weong nai ge
(Aduh kasian hidupku)
Weong ko nai ge
(Kasihan hidupku)
Weong weleng nai ge wau diongk aku ta
(Kasihan hidupku keluarga siapakah aku ini)
Ho’o calangn anak wada
(Beginilah anak buangan)
Ho’o copel anak oke
(Beginilah celakanya akan buangan)
Ide de weong nai ge
(Aduh kasihan hatiku)
Neka ta, neka ta oke anak reme wara
(Janganlah, janganlah buang anak saat masih merah/bayi)
Weri latung gok latung
(Tanam jagung panen jagung)
Weri woja ako woja
(Tanam padi menuai padi)
Lawa ee ei ee
(Manusia ee ei ee)
Aram ta latung cokoy tai ta
(Siapa tau nanti jagung tongkol padat berisi)
Woja wole tai ta
(Padi bernas nanti)
One limed morin mose de
(Di tangan Tuhanlah hidup kita)
Misalnya kata “bengkar one belang” (membuncah atau keluar dari bilah bambu yang sudah kering oleh karena matahari). Jika sudah kering biasanya bambu terbelah dan muncullah ulat atau binatang-bintang kecil dari dalamnya. Manusia Manggarai, biasa menyebut suku-suku atau leluhurnya “bengkar one belang“.
Biasanya kacang tanah yang bijinya tidak kenyal seperti biji kacang tanah lainnya disebut koja bok. Dari semua kacang tanah yang dipanen pasti ada koja bok.
One artinya di dalam, sedangkan leso berarti matahari atau hari. Bok one leso secara harafiah artinya biji yang keluar (dari) matahari.
“Pada zaman dahulu kala seorang anak yatim bertanya pada ibunya. Dia menanyakan kepada sang mama siapa dan darimana asal bapaknya. Sang mama pun menjawab bahwa bapaknya le ranga de Morin (berada di [hulu]).
Lalu pada suatu hari anak laki-laki itu memutuskan untuk pergi ke hadapan Tuhan. Setelah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan karena melalui gunung, bukit, jurang, tebing, ngarai dan sungai, lembah dan padang sabana (satar), si anak akhirnya bertemu Tuhan Yang Empunya Kehidupan atau Morin Agu Ngaran tadi.
Mereka berdialog dan Tuhan menanyakan maksud kedatangannya. Sang anak pun menjawab bahwa dia datang mencari sang bapaknya.
Apa jawaban Tuhan?
Tuhan Sang Pencipta lalu menyuruh si anak kembali ke dunia dan mendapat tugas untuk membangunkan manusia yang masih terlelap sebagai tanda bahwa fajar telah terbit dan hari baru telah tiba, sehingga manusia harus bangun dan bekerja.
Sesampainya di dunia sang anak lelaki tadi menjelma menjadi ayam jantan yang selalu berkokok pagi hari dan berkokok tengah malam atau subuh bila air pasang.”
Apabila keluarga atau kerabat menanyakan seorang perempuan atau isteri dan suaminya, apakah dia sudah punya anak atau sudah melahirkan, sang suami atau isteri akan menjawabnya, “le puar lewe kin“.
Jawaban “le puar kin” maksudnya calon anak masih di dalam kandungan (perut).
Puar lewe artinya hutan rimba yang luas. Akhiran “-n” bermakna orang ketiga tunggal pada kata kin; kim(orang kedua tunggal—kau), kis (orang kedua plural/jamak—kamu), kid (orang ketiga jamak—mereka), dan kig (orang pertama tunggal—saya atau aku).
Tetapi perlu dipahami—seperti diuraikan sebelumnya—bahwa bahasa Manggarai merupakan bahasa yang kaya ungkapan, kaya makna, dan sarat pesan/petuah.
![]() |
Ilustrasi. Sunrise di sekitar Cancar, Kecamatan Ruteng, Manggarai, 7 Januari 2018 – Dokpri. |
Secara umum lagu “Anak Diong” dipahami berkisah tentang seorang anak buangan (anak oke). Dia dibuang oleh kedua orang tuanya sejak masih bayi (merah), sehingga menjadi anak yatim piatu.
Dia pun mencari sang bapak dan mama, serta keluarganya, tetapi tidak ditemukan (atau tidak diakui oleh keluarga).
Lantas dia mencari dan terus mencari tahu sendiri keberadaan mereka, dan berpesan agar kita tidak membuang anak (darah daging sendiri) saat masih bayi, tetapi memeliharanya, siapa tahu nanti dia bertumbuh dan berkembang menjadi orang sukses dan berguna bagi banyak orang, sebab nasib baik hanyalah di tangan Tuhan.
“Karena sejak dalam kandungan kita kan sudah diberikan takdir. One limed Morin mose de. Hidup kita di tangan Tuhan, takdir kita di tangan Tuhan.”
Pada bait seperti “Neka ta, neka ta oke anak reme wara (Janganlah, janganlah membuang anak saat masih merah/bayi). Weri latung gok latung(Tanam jagung panen jagung). Weri woja ako woja. (Tanam padi menuai padi), merupakan sebuah pesan tentang “hukum tabur tuai” atau sebab-akibat.
Pada frasa “woja woley tai ta” secara harafiah berarti “padi yang bernas nanti”, woja (padi), wole (bernas—dan diberi akhiran “-y” yang berarti dia), tai (nanti).
Frasa ini bermakna harapan, yang ditandai dengan kehadiran kata aram (siapa tahu).
Refleksi lagu “Anak Diong”, dalam tulisan ringan ini, sedianya menumbuhkan semangat dan rasa cinta orang Manggarai terhadap bahasa daerahnya, yaitu bahasa Manggarai untuk digunakan dalam seni, tidak hanya lagu (seni musik), tetapi juga seni sastra tulisan.
Bahasa Manggarai adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang di tiga kabupaten—Manggarai Timur, Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat, dengan dialek/subdialek dan atau korespondensi (varian) bunyinya.
Lagu “Anak Diong” adalah satu dari sejumlah lagu berbahasa Manggarai, yang akan menjadi bermakna berbeda jika dinyanyikan dalam bahasa lain (Indonesia), sebagaimana pesan pencipta ratusan lagu, yang lagu-lagunya dapat dengan mudah dijumpai di buku nyanyian Gereja Katolik “Dere Serani” ini. Kepok. []